Minggu, Desember 23, 2007

Pre Production - Director Section

Pre Production Director Section

Penyutradaraan
Sebagai sutradara ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dan kerjakan, yakni:
1. Director's treatment
2. Shotlist
3. Storyboard
4. Casting
5. Reading
6. Rehearsal
7. Continuity

1. Director's treatment
Adalah gaya penyutradaraan yang ingin kita terapkan dalam film kita. Harap diperhatikan untuk skenario yang sama bisa dihasilkan 5 film dengan gaya yang berbeda lewat 5 orang sutradara yang berbeda. Tiap sutradara bisa memperlakukan sebuah skenario dengan cara yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan adanya berbagai gaya penyutradaraan yang berbeda.

Contoh beberapa sutradara-sutradara yang dikenal memiliki karakter unik adalah:
1. Coen bersaudara (Barton Fink, 1991; Fargo, 1996; The Big Lebowski, 1998; Oh Brother Where Art Thou? 2000),
2. John Woo (Face/Off, 1997; Black Jack,1998; Mission Impossible 2, 2000)
3. Zhang Y Mao (Ju Dou 1990; Raise the Red Lantern, 1991; Shanghai Triad 1995; The Road Home, 1999; Not One Less 1999; Crouching Tiger Hidden Dragon, 2000; Hero, 2003),
4. Wachowski bersaudara (Matrix, 1999 dan Matrix Reloaded, 2003),
5. Teguh Karya (Wajah Seorang Lelaki, 1972; November 1828, 1979; Usia 18, 1980; Di balik Kelambu, 1983; Badai Pasti Berlalu, 1981; Doea Tanda Mata, 1985; Secangkir Kopi Pahit, 1985; lbunda 1986),
6. Garin Nugroho (Cinta Dalam Sepotong Roti, 1991; Bulan Tertusuk llalang, 1995; Daun Di Atas Bantal, 1998; Puisi Tak Terkuburkan, 2000),
7. Tim Burton (Batman, 1989; Edward Scissorhands, 1990; Batman Returns, 1992; Ed Wood, 1994; Sleepy Hollow 2000).

John Woo misalnya, setelah sukses di Hongkong dengan sederetan film aksinya, ia melenggang ke Hollywood. Paramount Pictures, salah satu perusahaan besar di Hollywood, merekrutnya untuk menggarap Face/Off tahun 1997. Lewat film itu ia tercatat sebagai sutradara Asia pertama yang dipercaya oleh studio besar Hollywood. Sebelumnya belum pernah ada sutradara Asia dari luar Amerika yang dipercaya menggarap film cerita di jalur mainstream Hollywood. la membawa angin segar untuk bentuk aksi dalam film-film Hollywood. "Warna Hongkong" kemudian juga terasa kental di film Matrix (Andy dan Larry Wachowski, 1999). Untuk Indonesia kita bisa Iihat sepak terjang Garin Nugroho di berbagai festival fillm internasional. Berkat ketekunannya mengangkat "isu dan warna tradisi Indonesia" dalam film-filmnya, ia menggondol sedikitnya 23 penghargaan internasional.

Hal-hal yang mempengaruhi director's treatment adalah warna, gerakan kamera, penyampaian cerita dan gaya editing.

Warna bisa mempengaruhi gaya misalnya sutradara menampilkan warna (colour tone) yang berbeda untuk tiap pemunculan karakater berbeda; warna kecoklatan dipakai untuk tokoh VERA yang melankolis, sedang warna cenderung merah untuk tokoh lain yang pemberani, atau biru untuk tokoh misterius. Ini hanya sekedar contoh, silakan tentukan sendiri warna yang diinginkan. Umumnya hanya tokoh kunci yang ditonjolkan karakternya. Bisa juga tidak dilakukan pembedaan warna berdasarkan karakter tapi berdasarkan suasana dalam tiap adegan film. Kelompokkan adegan-adegan dalam dua atau tiga kelompok dan beri penekanan warna yang berbeda. Misal: kelompok adegan sedih dan mengharukan diberi penekanan agak suram. Untuk kelompok adegan penuh pengharapan warnanya dibuat lebih terang. Sekali lagi ini hanya contoh belaka. Sesuaikan mood dan karakter film kita dengan keinginan kita. Tentunya kita mesti konsisten dan bisa memberikan argumentasi yang baik atas pilihan warna tersebut.

Gerakan kamera memberi efek yang besar bagi penonton. Untuk itu kelompok adegan yang telah kita buat di atas ada baiknya diperlakukan berbeda pula lewat gerakan kamera. Misal kelompok pengharapan lebih banyak ditampilkan dengan gerakan kamera yang dinamis dan variatif, sementara adegan sedih diberi gerakan kamera statis atau lambat sekali.

Penyampaian cerita bisa dilakukan lewat paduan antara narasi dan dialog. Bisa saja kita membuat narasi lebih dominan atau tanpa narasi sama sekali. Tiap paduan menghasilkan efek berbeda kepada penonton. Silakan tentukan paduan yang paling pas untuk skenario kita. Bila ada perubahan mendasar karena gaya penyampaian cerita kita, diskusikan dengan penulis skenario. Pastikan agar is bisa menerima gaya kita dan tidak tersinggung. Sekali lagi sesuaikan dengan film kita masing­masing. Tidak ada formula yang mujarab untuk semua skenario film. Tiap film mesti diperlakukan secara khusus.

Gaya editing seperti apa yang diinginkan dan pikir cocok untuk film kita harus sudah didiskusikan sejak awal dengan editor. Misalnya yang diinginkan adalah tempo cerita yang cepat untuk memukau penonton lewat aliran cerita/ konflik yang bertubi-tubi, maka mintalah editor memikirkan cara memotong dan menyambung tiap shot dan atau scene dengan tempo yang cepat. Diskusikan dengan cermat apakah gaya seperti ini tepat untuk film kita. Perlukah animasi, efek visual atau bentuk grafis lainnya dalam film tersebut? Bagaimana dengan suara atau musiknya? Silakan berembuk dengan editor dan penulis skenario.

2. Shotlist Shot adalah bagian dari sebuah adegan. Satu adegan bisa terdiri dari satu atau lebih shot. Rencanakan dengan cermat dari sudut mana saja sebuah adegan akan kita shoot. Kumpulan urutan shot dari tiap adegan dalam film disebut shotlist. Tanpa shotlist bisa saja film selesai dikerjakan. Namun dengan bantuan shotlist proses shooting akan jauh lebih mudah dilaksanakan. Semua kru juga jadi mengetahui benar apa yang mereka harus siapkan dan lakukan. Cara termudah mengurai adegan dalam bentuk shot adalah dengan membuat script breakdown.

3. Storyboard
lihatlah penjelasannya dalam topik Sutradara di Materi Menyusun Tim Produksi

4. Casting
Siapa yang pas memerankan `VERA, siapa pula yang tepat untuk bermain menjadi anak si `VERA? Proses memilih pemeran untuk sebuah film disebut casting. Proses ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, seorang casting director menyeleksi sejumlah calon pemeran yang disediakan oleh seorang talent coordinator. Berdasarkan skenario dan arahan sutradara serta casting director, seorang talent coordinator mengundang sejumlah calon pemeran, biasanya tergabung dalam agen penyalur model (model agencies), yang telah diseleksi sesuai atau mendekati kriteria.

Setelah sejumlah calon pemeran terkumpul, casting director kemudian melakukan tugasnya.

Apabila skenario menggambarkan karakter `VERA sebagai tokoh yang melankolis, casting director bisa meminta para calon pemeran untuk membaca dan memerankan penggalan cerita dari skenario. Umumnya penggalan yang diambil adalah yang bisa menggambarkan sekelumit tentang karakter `VERA. Aktivitas dalam proses seleksi ini biasanya mengacu pada apa yang tercantum dalam skenario atau berdasarkan permintaan dari periset dan sutradara.

Tahap kedua dari proses casting ini adalah menyerahkan calon pemeran yang dipandang sesuai kriteria untuk diseleksi oleh sutradara. Berdasarkan hasil kerjanya, casting director menyodorkan daftar berisi nama-nama calon pemeran yang paling memenuhi syarat. Jangan lupa casting director harus menyertakan evaluasi dan argumentasinya, ini diperlukan guna memperkecil peluang kolusi.

Selain mengenal seluk beluk akting, casting director ini sebaiknya merupakan orang-orang dengan latar belakang pengetahuan atau pengalaman yang cukup di bidang psikologi atau sosiologi. Latar belakang ini membekali casting director dengan sensivitas yang tajam untuk mencari calon-calon pemeran yang sesuai dengan skenario, arahan sutradara dan hasil kerja periset. Kerja casting director dinilai baik apabila calon-calon yang is ajukan sesuai dengan kriteria. Secara matematis, apabila lebih dari 70 persen calon pemeran dinilai sesuai, maka casting director tersebut bagus kerjanya. Apabila patokan ini meleset, bisa jadi casting director kita tidak melakukan kerjanya dengan baik sehingga calon-calon yang potensial justru terlewat.

Di Indonesia, pekerjaan casting director ini kerap dikerjakan oleh asisten sutradara, sutradara dan/atau produser. Pertama adalah karena jarang ada orang film yang menguasai bidang psikologi atau sosiologi, sehingga kualifikasi casting director ala Hollywood sulit didapat. Kedua, para produser cenderung menjadi dominan dan ingin menentukan semua hal, mulai dari pemilihan cerita, kru, pemeran sampai hasil akhir film.

Untuk konteks film eksperimen atau film buatan mahasiswa, kerja rangkap ini lazim terjadi. Wajar apabila satu orang memegang beberapa fungsi sekaligus, ini merupakan bagian dari proses belajar. Namun apabila produksi film memiliki anggaran yang cukup, sebaiknya jangan sampai ada pekerjaan rangkap. Biarkan tiap orang fokus pada posisinya agar dapat menghasilkan yang terbaik. Tambahan lagi, ini sekaligus berarti membuka kesempatan belajar dan menimba pengalaman. Dengan begitu, akan tumbuh sumber daya manusia (SDM) perfilman yang terampil dan berpengalaman. Akhirnya, produser tak lagi menjadi pihak yang memegang dominasi dalam sebuah produksi film.

5. Reading
Setelah para pemeran terkumpul, tahap berikutnya adalah mengarahkan para pemeran sesuai dengan skenario dan pencapaian kreatif sang sutradara. Yang pertama dilakukan adalah duduk bersama-sama dan membaca skenario (reading) sesuai porsinya, dibimbing oleh asisten sutradara.

Guna reading adalah untuk mengetahui durasi dialog dalam sebuah adegan sehingga durasi adegan tersebut dapat diperkirakan. Dari sini, asisten sutradara akan mendapatkan perkiraan durasi film yang lebih akurat. Informasi ini juga berguna untuk menyiapkan bahan baku sesuai dengan shooting ratio sehingga anggaran pun bisa disesuaikan. Selain itu, reading membantu para pemeran dalam melafalkan dialog dan tata gerak sesuai dengan yang mereka harus lakukan dalam film nanti. Bila ada hal yang dirasakan kurang pas, perubahan skenario juga mungkin dilakukan pada tahap ini. Reading membantu memperkecil hambatan yang mungkin muncul selama shooting berlangsung. Cara paling praktis unutk memprediksi durasi film adalah dengan memakai stopwatch. Mulai hitung waktu ketika adegan pertama dimulai. Mungkin saja tidak langsung dialog. Baca saja semua keterangan yang tertera dalam skenario, termasuk keterangan aksi dan dialog. Catatan waktu yang dibutuhkan untuk membaca seluruh skenario dari awal sampai akhir. Waktu yang tertera dalam stopwatch adalah perkiraan durasi film kita nantinya.

6. Rehearsal
Setelah beberapa kali melakukan reading, para pemeran melakukan rehearsal (latihan) sesuai porsinya dibawah bimbingan asisten sutradara. Dalam proses rehearsal, tata gerak (blocking), mimik dan Bahasa tubuh pemeran diarahkan sesuai dengan keinginan sutradara. Asisten sutradara mengarahkan semua perbaikan, termasuk juga membangun kepercayaan diri dan mood pemeran. Dengan demikian, pada saat shooting semuanya bisa berjalan dengan lancar.

Dalam tahap akhir rehearsal, libatkan penata fotografi dan penata artistik dalam tim kita. Ketika pemeran melatih blocking, penata fotografi bisa merancang gerakan kamera (camera movement) dan sudut kamera terbaik untuk tiap adegan. Segala keperluan kamera bisa didiskusikan dan diantisipasi di tahap ini, sehingga aneka kebutuhan mendadak bisa dihindari. Penata artistik juga bisa memanfaatkan momen ini untuk menyiapkan semua kebutuhan, sesuai dengan blocking pemeran, camera movement penata fotografi dan keinginan sutradara. Departemen artistik juga bisa menyiapkan tata busana dan tata rias. Semua jenis dan ukuran pakaian serta perhiasan dan aksesorisnya disiapkan dengan seksama. Kalau film kita membutuhkan efek tata rias khusus, sutradara bisa meminta penata rias (make up artist) untuk mencobanya kepada pemeran sehingga sutradara, penata artistik dan penata fotografi bisa memperoleh gambaran dan dapat saling berdiskusi.

Apabila rehearsal berjalan baik, maka waktu dan biaya untuk shooting tak perlu habis dengan percuma. Lebih baik menyisihkan waktu dan biaya untuk melakukan rehearsal ketimbang membuang uang dan menyia-nyiakan waktu untuk segala kerepotan yang tidak menyenangkan saat shooting. Memang tak semua adegan bisa dilatih dalam rehearsal. Adegan kolosal misalnya, biasanya tak melewati proses rehearsal lantaran ada begitu banyak orang yang terlibat. Namun pastikan agar para pemeran kunci adegan kolosal tersebut paham apa yang mereka mesti lakukan, sisanya dapat diarahkan pada saat shooting berlangsung.

Apabila kita tak punya waktu cukup untuk rehearsal, utamakan adegan-adegan dengan dialog panjang atau yang melibatkan banyak orang. Karena kemungkinan kesalahan lebih besar terjadi pada adegan-adegan tersebut, mintalah asisten sutradara kita untuk berkonsentrasi pada bagian itu.

7. Script Continuity (Kesinambungan)
Umumnya, proses pengambilan gambar berbeda dengan alur skenario. Skenario memuat rangkaian adegan yang diurut dengan nomor adegan (scene number). Shooting sendiri umumnya tidak berjalan sesuai dengan nomor adegan melainkan berdasarkan lokasi. Adegan-adegan yang dilakukan di lokasi yang sama dikelompokkan untuk kemudian dishoot dalam satu periode waktu. Nanti di tahap pasca produksi, adegan-adegan ini diurut‑ kan kembali berdasarkan nomor adegan.

Masalah yang sering terjadi adalah ketidaksinambungan (discontinuity). Ketika adegan-adegan tersebut mesti ditata ulang berdasarkan skenario, baru diketahui bahwa ada hal-hal yang tidak berkesinambungan. Ini bisa berupa masalah gerak, arah gerak dan pandangan pemeran (screen direction) yang berbeda dan kikuk ketika disandingkan, property yang bergeser tempatnya atau pemilihan kata yang tidak konsisten dalam dialog. Keganjilan ini amat mengganggu kenikmatan menonton film. Karenanya departemen penyutradaraan harus memperhatikan kesinam‑ bungan antara adegan satu dengan adegan lain dengan amat cermat.

Penanggungjawab script continuity ada di tangan script supervisor. Dengan membuat koordinasi bersama asisten sutradara, script supervisor mencermati segala hal yang tampak dalam frame dan mencermati tiap adegan satu per satu. Script supervisor harus jell melihat tata rias, busana, posisi pemeran maupun intonasi pada dialog. Pekerjaan ini memang sangat penting sekaligus melelahkan. Oleh karenanya, pastikan jangan sampai posisi ini dirangkap.

`Mood Continuity'
Yang juga harus dijaga kesinambungannya adalah kondisi fisik dan mental pemeran, mulai dari sebelum hingga pada saat shooting berlangsung. Ini menjadi tanggung jawab asisten sutradara. Asisten sutradara kemudian berkoordinasi dengan asisten produksi untuk menjaga mood sepanjang shooting. Asisten sutradara mesti rajin berdialog dengan para pemeran untuk memastikan kesiapan pemeran untuk shooting hari itu dan hal-hal apakah yang membuat mereka merasa tidak nyaman di lokasi. Mintalah pemeran untuk berlatih selagi lampu dan perlengkapan ditata. Selain untuk memperdalam pemahaman peran, ini juga agar pemeran menjadi terbiasa dengan atmosfer di set.

Kesinambungan kondisi fisik dan mental ini juga penting demi mematuhi jadwal dan ketentuan yang telah digariskan oleh departemen produksi. Kelancaran shooting hanya bisa berlangsung apabila semua kru dan pemeran patuh pada jadwal. Sebaliknya, departemen produksi memperhatikan semua keperluan para kru dan pemeran. Lewat asisten produksi, departemen produksi harus memastikan bahwa semua kru dan pemeran berada dalam kondisi yang baik agar semua jadwal dan ketentuan terpenuhi seperti yang direncanakan. Pendeknya, departemen produksi bertugas merawat seluruh kru dan pemeran dalam produksi film.

Sumber :
CD Interaktif
Program Bimbingan anak Sampoerna (PBA) Karya Kita
Bengkel Film Pemula


Comments (0)

Posting Komentar