Jumat, September 12, 2008

Dari Gelaran TC-IMF

Artikel Liputan Surat kabar "Pikiran Rakyat". 12 September 2008.
FILM ISLAMI BERCITA RASA HOLLYWOOD
GAIRAH para sineas rnuda dari komunitas indie di Bandung memang patut diacungi jempol. Di tengah berbagai keterbatasan, mulai dari minimnya ilmu sinematografi, wawasan, penulisan skenario, kurangnya alat, hingga masalah dana, mereka tetap menoba berkreasi menghasilkan karya-karya sinema yang pantas untuk diapresiasi. Semangat itu terlihat jelas saat berlangsungnya "Islamic Movie Festival" (IMF)" (Koreksi Adm.) di Gedung Rektorat Unpad Lt4, Jln. Dipatiukur 35 Bandung, Kamis (11/9). Delapan (Koreksi Adm.) judul film pendek karya anak-anak muda --pelajar dan mahasiswa-- Bandung diputar untuk memperebutkan tiga penghargaan, yakni best movie (film terbaik), best story (cerita terbaik), dan favorite movie (film favorit). Kedelapan (koreksi Adm.) film itu masing-masing "Sang Hero", "Biarkan Hatiku Bersanlamu", "Jalan¬ku", "Lakukan Sekarang", "Iman", "Ku Tangguh Karma ku Lemah (.adm), "Chokro the Elastic Boy" (Koreksi Adm.), dan "Istiqomah". tiga juri yang menilai adalah M. Yulius (Produser & Ketua Majelis Budaya Jakarta). Askurifai (School Film & Television Bandung) dan Pramonojati (konsultan TV lokal). Setelah melewati proses penilaian yang panjang dan alot, tim juri sepakat memilih film "lstiqomah" sebagai best movie, best story dan favorite movie (yang dipilih penonton (koreksi Adm.)) sekaligus. Film karya Falling Star Pictures (Koreksi FSP) itu memang berdurasi sangat pendek, hanya lima menit tetapi, pendeknya durasi bukan halangan bagi mereka untuk bisa menyampaikan cerita yang menarik dengan pesan yang dalam. Film "Istiqomah" bercerita tentang munculnya kesadaran seseorang atas segala keslahan yang telah diperbuatnya. Kesadaran itu muncul saat Ia membaca ayat-ayat suci Al-quran. Karya yang pendek, tetapi mampu menggugah kesadaran orang yang menontonnya Rasa Hollywood Namanya juga festival film islami, tentu saja tema-tema yang diangkat seputar keislaman dan dakwah. Akan tetapi, sebagai orang yang baru belajar membuat film, para sineas muda masih banyak kekurangan, sehingga karya-karya mereka pun tak steril dari kritik. Tegasnya, meski bertema islami, hampir sebagian aspek pendukung justru tidak beranjak dari kultur Islam. Beberapa unsur musik, scene (gambar), atau latar belakang masih sangat kental warna Hollywoodnya. Dalam penilaian M. Yulius, keterbatasan yang paling mendasar dari para sineas muda terletak pada wawasan dan pemahaman tentang film Islam. Padahal, menurut Yulius, wawasan dan pemahaman merupakan hal mendasar dalam pembuatan film. "Bagaimana seorang yang bekerja di bidang sinematografi akan menggarap filmnya kalau wawasan dan pemahaman terhadap apa yang akan dibuatnya itu tidak dikuasai," kata Yulius. Meski demikian, Yulius optimistis, karena ide yang disampaikan peserta sangat mewakili persoalan yang terjadi di masyarakat. Hanya sayang, ide bagus ini, kata Yulius, masih belum dieksplorasi sehingga terkesan dangkal atau malah terjebak pada simbol dan verbalisme. "Padahal, prinsip pembuatan film adalah don't tell it, but show it" ucapnya. Terjebak simbol Sementara itu, Pramonojati menilai, hampir sebagian besar peserta terjebak pada pemahaman Islam yang sangat fisik. Film islami ditafsirkan harus ada adegan salat, mengaji, dan para pemain perempuannya berjilbab. "Ini memang sangat permukaan. Begitu juga dalam kata-kata, pada umumnya masih sangat verbalistik," tuturnya. Hal itu, menurut Pramonojati, terjadi karena banyak faktor. Antara lain referensi film Islam yang sangat terbatas dan pola dakwah yang masih terjebak pada simbol¬simbol verbal. Sehingga masyarakat belum dapat menangkap nilai-nilai Islam dari bentuk-bentuk yang sepertinya "bukan Islam". Sama halnya dalam penguasaan mereka dari segi teknik film (sinematografi), yang menurut Askurifai, tampak berbeda antara sineas pelajar dan sineas mahasiswa. Namun demikian, semua juri sepakat, ajang IMF (Koreksi Adm.) yang digelar oleh dua unit kegiatan mahasiswa (UKM) di lingkungan Fikom Unpad, yakni UKM Biro Kerohanian Islam dan UKM Cinematography Club itu sangat positif karena akan menjadi media pembelajaran. Para sineas akan terus berlajar dan menggali bentuk-bentuk baru dari temuan¬-temuan mereka terhadap Islam. (Eriyanti-/”PR”)*** Artikel diatas telah diedit ulang oleh administrator pada informasi dan ejaan yang kurang tepat berdasarkan deskripsi panitia TC-IMF tanpa merubah berita asli.

Comments (0)

Posting Komentar